Rabu, 07 April 2010

Manusia di Cangkang Telur



Dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW membandingkan antara dunia dan surga. Kata beliau, "Kavling yang paling kecil di surga nanti adalah seperti dunia ini ditambah sepuluh kali lipatnya."

Tentu ada orang yang kemudian bertanya, "Di mana pula lokasi surga itu? Padahal, dunia ini sudah sangat luasnya, dan tampaknya tidak ada seorang pun yang pernah menapakkan kakinya di atas semua dataran dunia ini?"

Pertanyaan orang tadi mencerminkan keraguannya atas adanya alam surga sebagaimana yang diilustrasikan oleh Nabi SAW. Dan orang tersebut mewakili salah satu dari tiga tipe orang dalam menyikapi surga khususnya, dan alam akhirat umumnya.

Ibarat anak ayam yang masih berada di dalam cangkang telur, begitulah manusia di dunia ini. Ibaratnya pula, anak ayam yang belum menetas itu diberi tahu bahwa setelah tiba saatnya, mau atau tidak, ia akan keluar meninggalkan dunia telur ayam tersebut, dan akan masuk ke dalam alam yang luasnya jauh bermiliar-miliar lebih besar daripada dunianya di dalam cangkang telur yang ia diami sekarang ini.

Dalam menyikapi berita tersebut, ada tiga tipologi anak ayam. Pertama, anak ayam yang sama sekali tidak percaya terhadap berita itu. Di mana ada alam yang besar seperti itu, sedangkan baginya, dunia telur ayam itu sudah sangat lebar. Ia bisa bermain ke kanan kiri dengan leluasa. Begitu alur pikirannya.

Kedua, anak ayam yang tidak mau tahu-menahu tentang berita itu. Baginya, itu adalah urusan nanti. Seperti halnya anak ayam yang pertama, ia tidak pernah membuat persiapan untuk hidup di alam nanti.

Dan ketiga, anak ayam yang percaya mutlak bahwa apa yang diberitahukan kepadanya itu benar. Alasannya, pihak yang memberi tahu itu adalah pihak yang dipercaya. Maka, kendati ia belum pernah melihat alam itu, ia pun percaya hal itu sepenuhnya. Sebagai bukti atas keyakinannya itu, ia pun membuat persiapan-persiapan untuk memasuki alam tersebut nantinya.

Setelah tiba masanya, ketiga anak ayam itu akan meninggalkan dunia telur ayam dan masuk ke alam dunia. Dan anak ayam yang pertama dan kedua baru percaya bahwa apa yang pernah diberitahukan kepada mereka itu benar.

Begitulah manusia di dunia ini menyikapi adanya alam surga nanti. Ada yang tidak percaya, tidak tahu menahu, dan percaya sepenuhnya. Bila sudah tiba saatnya, mereka akan keluar dari alam dunia ini, dan masuk ke alam akhirat yang luasnya jauh lebih besar dari dunia ini. Dan dari tiga tipe manusia itu, hanya satu yang akan tinggal di surga, yaitu yang percaya dan mempersiapkan diri untuk itu.

Oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub

Virus Penghancur Kekuasaan

Kita sering menggunakan ataupun mendengar kata adil dan zalim yang terkadang dikaitkan dengan perilaku penguasa. Adil merupakan kemampuan untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa mengurangi hak yang lain, sedangkan zalim sebaliknya.

Perilaku seseorang akan selalu berada dalam dua posisi ini: adil atau zalim. Tidak ada satu pun manusia biasa yang akan mampu berlaku adil 100 persen. Tapi, ini bukanlah pembenaran bahwa kezaliman merupakan suatu hal yang lazim.

Lantas, seberapa eratkah hubungan antara keadilan atau kezaliman dengan kekuasaan? Jawabannya: sangat erat. Keadilan merupakan kunci keberlangsungan suatu kekuasaan, dan sebaliknya, kezaliman merupakan virus utama yang menghancurkan kekuasaan itu.

Al-Ghassani, seorang ahli sejarah Arab klasik mengatakan, ''Kekuasaan bisa bertahan dalam kekafiran, tapi tidak akan bertahan dalam kezaliman.'' Untuk melihat kebenaran kata hikmah ini, ada baiknya kita melihat bukti-bukti sejarah mengenai jaya dan runtuhnya suatu kekuasaan.

Menjelang jatuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, ada beberapa fakta sejarah yang perlu kita renungkan. Pada saat itu, terjadi kesenjangan yang besar antara orang-orang di lingkaran kekuasaan dan rakyat jelata.

Kelompok pertama hidup sangat mewah, sedangkan kelompok kedua hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Disebutkan, pada saat itu, ulama yang paling hebat hanya berpendapatan 12 dinar per bulan, sedangkan pendapatan rakyat jelata jauh lebih rendah. Akan tetapi, 'Alauddin al-Zhahiri, salah seorang staf kerajaan, berpendapatan 300 ribu dinar dan rumahnya termasuk yang termewah di Baghdad.

Yang juga mencengangkan, Khalifah al-Mustanshir, dalam pesta pernikahannya, memberikan hadiah 100 ribu dinar. Pada pesta pernikahannya pula, Khalifah al-Musta'shim memberikan hadiah 300 ribu dinar. Pendapatannya per tahun mencapai lebih dari 500 ribu dinar. Sebuah jumlah yang sangat fantastis jika dibandingkan pendapatan sehari-hari rakyat jelata.

Bisa dikatakan bahwa pada saat itu, harta negara sebagian besar hanya berputar di kalangan kaum elite, entah itu untuk keperluan berbagai macam pesta, hadiah, ataupun fasilitas pribadi. Tak perlu diragukan lagi, ini merupakan suatu kezaliman.

Berdasarkan kata-kata al-Ghassani di atas, kehancuran Khalifah Abbasiyah merupakan suatu keharusan. Setiap perilaku yang bertentangan dengan asas keadilan akan tersingkir, sebab dunia ini berjalan berdasarkan asas keadilan. Kita perlu berkaca, betapa banyak pemimpin yang jatuh atau dijatuhkan akibat ketidakadilan mereka dalam menjalankan amanat

Oleh Andri Rosadi MA